Pluralisme Hukum Waris dan Keadilan Perempuan
Penulis
: Sulistyowati Irianto
Edisi
: Ed. 1, Cetakan pertama
Collation
: xxvii, 368 hlm,; 15 x 23 cm
Penerbit
: Obor - Jakarta
Call Number
: 340.114
SUL
p
Ringkasan :Konsep mengenal waris dan apa sebenamya hukum waris, khususnya waris Islam, mendapatkan ujiannya dalam praktik pembagian dan penyelesaian sengketa waris dalam masyarakat. Konsep dan hukum yang sudah dianggap baku, ternyata dalam praktiknya dapat dimusyawarahkan, bersifat cair, dan mendapatkan makna baru. Pemaknaan tentang waris sangat beragam, tidak hanya karena hukumnya beragam, tetapi juga budaya, sistem pemaknaan, kelas yang beragam, dan juga perspektif gender.
Realitas pluralisme hukum dapat ditunjukkan bukan hanya karena keberadaan beberapa sistem hukum dalam isu waris, tetapi juga adanya saling pengaruh, adopsi atau sebaliknya kontestasi, di antara berbagai sistem hukum tersebut dalam praktik pembagian waris.
Pluralisme hukum (hukum negara, agama, adat, kebiasaan) kehilangan garis demarkasinya secara tegas. Terdapat pengaruh dari praktik kebiasaan yang sangat dinamis terkait waris yang berlangsung di negara-negara Islam Asia Tenggara, terhadap praktik waris di Indonesia. Masing- masing hukum bukanlah entitas yang batasnya jelas. Hal ini sejalan dengan pemikiran modern dalam teori pluralisme hukum yang berkembang sesuai dengan perkembangan masyarakat yang sangat cepat dan globalisasi masa kini.
Isu kewarisan bertumpu pada soal apa yang dianggap sebagai harta waris (harta perkawinan atau harta bawaan, atau bahkan harta desa seperti tanah sanggan), siapa saja yang berhak mewaris, dan berapa besar bagiannya. Sungguh pun dalam hukum waris Islam jelas diatur tentang harta waris, siapa yang berhak dan berapa bagiannya; akan tetapi dalam praktiknya hukum waris Islam diterapkan secara kompromistis dan cair. Mengenai kedudukan perempuan, hukum Islam menetapkan perempuan sebagai ahli waris dan bagiannya. Namun dalam praktiknya, porsi waris bagi perempuan, menjadi hal yang bisa diterima dengan berbagai penjelasan; atau justru diperdebatkan dengan berbagai alasan. Dalam hal ini dapat dilihat adanya acuan hukum Islam berkoeksistensi dengan hukum adat dan kebiasaan, atau hukum yang hidup dalam masyarakat.
Dalam hal penyelesaian sengketa waris, realitas pluralisme hukum bukanlah hanya karena adanya keragaman hukum saja, tetapi juga pluralisme yurisdiksi sejak sebelum kemerdekaan sampai hari ini. Dapat dilihat adanya tarik-menarik kepentingan di antara pengadilan negara, pengadilan adat dan pengadilan agama (Islam), dan forum penyelesaian sengketa waris yang tumbuh dalam masyarakat sendiri. Tersedia bentangan pilihan forum, seperti: penyelesaian secara musyawarah keluarga; mengundang ulama dalam musyawarah keluarga; atau datang langsung mencari ulama termasuk pergi ke pesantren; atau datang kepada fungsionaris desa; atau pilihan yang terakhir adalah mendatangi pengadilan agama atau pengadilan negeri.
Daftar copy :
No. |
Barcode |
Lokasi |
No. Rak |
Ketersediaan |
1 |
00252468 |
Perpustakaan Pusat UMY |
300 |
Tersedia |
2 |
00252512 |
Perpustakaan Pusat UMY |
300 |
Tersedia |
Diproses dalam : 0.15284895896912 detik