Dermawan Pekajangan ini telah menanam bibit dan menumbuhsuburkan Muhammadiyah di daerah Pekalongan dan sekitarnya. Beliau memiliki nama kecil Mutaman lahir tahun 1879 M di Pekajangan Kedungwuni Pekalongan putra H. Abdulkadir. Pengetahuan agamanya diperoleh dengan mengaji pada kiyai-kiyai dan dari satu pondok pesantren ke pondok pesantren yang lain. Diantara para kiyai itu adalah Kiyai Amin (Ponpes Banyuurip), Kiyai H.Agus (Ponpes Kenayagan), Kiyai Abdurrahman (Ponpes Wonoyoso), dan Kiyai H. Idris (Ponpes Jamsaren Solo).
Setelah pengetahuan agama Islam dianggap cukup, kemudian beliau menyelenggarakaan pengajian-pengajian dari satu masjid ke masjid lain, dari daerah satu ke masjid lain. Bahkan di Pekajangan beliau mendirikan pengajian bernama ‘Ambudi agama”. Dalam pengajian ini diberi pelajaran yang saat itu dikenal dengan Ngakaid 50 dan Sifat 20 Bakal Weruh Gusti Allah”. Pengajian ini mendapat respon baik dari masyarakat dan pesertanya semakin hari semakin banyak.
Namun dalam perjalanannya, pengajian ini tidak bisa berjalan mulus karena dilarang oleh pemerintah kolonial saat itu. Pelarangan ini katanya karena adanya undang-undang Guru Ordonansi. Menghadapi masalah ini, beliau mulai menyadari perlunya organisasi pergerakan Islam. Maka beliau mulai berpikir untuk memelajari organisasi yang bernama Muhammadiyah di Yogyakarta.
Keinginan yang luhur itu dicegah oleh temannya yang bernama Chumasi Hadjosubroto dan teman-teman lain. Mereka mengatakan bahwa gerakan Muhammadiyah di Yogyakarta itu adalah gerakan Kristen. Namun demikian, berkat keinginan kuat dan dimotivasi oleh teman akrabnya yang lain yakni Kiyai Asmu’i, beliau pergi ke Yogyakarta ditemani oleh Kiyai Asmu’i.
Setibanya di Yogyakarta, mereka berdua disambut baik oleh jajaran Pimpinan Pusat Muhammadiyah. Sejak itu, lalu PP Muhammadiyah mengirim da’i-da’inya ke Pekajangan diantara mereka adalah H. Muchtar, H. Abdulrahman Machdum, H. Wasool Ja’far. Kehadiran mereka ke Pekajangan untuk menyiarkan Islam, mencari solusi terhadap masalah yang dihadapi, dan untuk mngembangkan Muhammadiyah. Kemudian dalam perkembangannya pada tanggal 15 November 1922 berdirilah Muhammadiyah Cabang Pekajangan.
K.H. Abdurrahman adalah seorang pengusaha sukses dan memiliki penggilingaan padi. Beliau seorang dermawan dan selalu menyeponsori kegiatan-kegiatan Muhammadiyah seperti pengajian, rapat-rapat, pendirian sekolah, masjid dan lainnya. Kedermawanan ini tidak saja hanya kepada Muhammadiyah, bahkan kepada siapapun yang menginginkannya. Bahkan kepada pribadi-pribadi aktifis Muhammadiyah sering dipanggil dan diberi uang. Kadang-kadang diantara mereka ada yang terkejut dan menanyakan ini uang apa ?. Beliau menjawab “wis ta tompo wae, nggo tuku rokok”.
Apabila ada orang yang kira-kira tidak setuju dengan Muhammadiyah, maka K.H. Abdurrahman tidak langsung membantahnya. Mereka itu diajak dialog dan selalu dikemukakan agar orang itu kembali memikir ulang tentang sikap dan pendapatnya itu. K.H. Abdurrahman tidak langsung membantah apalagi marah-marah. Orang itu diajak ngomong baik-baik. Orang-orang yang kurang setuju dengan Muhammadiyah itu selalu didekati dengan ramah dan mereka itu sering diberi sarung. Dengan cara pendekatan ini, maka lama kelamaan Muhammadiyah berkembang pesat di Pekajangan Pekalongan.
Berdirinya Muhammadiyah Cabang Comal memiliki kisah tersednriri. Di Comal, banyak kiyai-kiyai yang tidak setuju dengan Muhammadiyah. Hanya beberapa orang yang menjadi anggota Muhammadiyah. Karena mereka merasatercepit, maka hal ini disampaikan kepada K.H. Abdurrahman. Kemudian beliau memerintahkan agar orang-orang Muhammadiyah Comal menyembelih kambing untuk menjamu para koyai di sana. Setelah kambing itu masak, maka diundanglah para kiyai dan tokoh masyarakat Comal. Saat itu K.H., Abdurrahim berkesempatan menjelaskan Muhammadiyah kepada mereka. Setelah mendengar p-enjelasan tentang Muhammadiyah dari K.H.Abdurrahman, maka sebagian besar menyatakan diri sebagai anggota Persyarikatan Muhammadiyah dan dibukalah Cabang Muhammadiyah Comal.
K.H, Abdurraman wafat pada hari Kamis Legi tanggal 3 Februari 1966 pada usia 87 tahun dan isterinya wafat seminggu sebelumnya yakni wafat pada hari Kamis Wage tanggal 27 Januari 1966 dalam usia 78 tahun. Beliau telah meninggalkan aset besar bagi Muhammadiyah baik nilai-nilai Islam dan Kemuhammadiyahan, sekolah-sekolah, masjid, mushala, gedung Muhammadiyah dan gedung ‘Aisyiah, madrasah Muallimin yang berdiri megah di Pekajangan. Kitab-kitabanya yang banyak itu diserahkan ke Majleis Tabligh. Disamping itu ada beberapa nasehat yang bisa dijadikan pelajaran kita semua antara lain: