Penulis : Eko Kurniawan
Tanggal Publikasi : 14 December 2021
FATMAWATI (5 Februari 1923 – 14 Mei 1980) adalah putri dari pasangan Hasan Din dan Siti Chadijah. Ia lahir di kampong Pasar Malabero Bengkulu. Beliau dibesarkan dalam lingkungan yang taat beragama. Hasan Din adalah seorang Konsul Muhammadiyah Bengkulu. Beliau juga seorang pegawai perusahaan milik Belanda di Bengkulu (Borneo Sumatera Maatschappij). Perusahaan ini merupakan salah satu perusahaan terbesar milik Belanda di Indonesia saat itu.Sedangkan Ibu Siti Chadijah adalah aktifis ‘Aisyiyah Cabang Bengkulu.
Sejak kecil, Fatmawati telah belajar agama Islam antara lain membaca dan menulis Alquran pada sore hari kepada datuknya dan kepada seorang guru agama Islam. Sejak kecil sudah kelihatan bakat seninya terutama seni membaca Alquran dan sangat supel dalam bergaul. Kepintarannya membaca Alquran pernah ditunjukkan pada pembukaan Kongres Muhammadiyah di Palembang tahun 1936.
Ketika beliau berumur 6 (enam) tahun , ia masuk Sekolah Gedang (sekolah rakyat), namun kemudian pindah ke HIS (Hollandsche Inlance School), sekolah berbahasa Belanda (1930). Ketika duduk di kelas 3 (tiga), Fatmawati dipindahkan lagi oleh ayahnya ke HIS Muhammadiyah. Fatmawati sejak remaja sudah aktif di Muhammadiyah melalui Nasyi’atul Aisyiah/NA
Bertemu Bung Karno
Fatmawati bertemu dengan Bung Karno dimulai tahun 1938. Saat itu, Bung Karno dipindahkan oleh Kolonial Belanda dari Pengasingan di Ende (Flores) ke Bengkulu. Bersamaan itu, keluarga Hasan Din pindah ke Bengkulu setelah 3 (tiga) tahun tinggal di Curup. Kepindahan ini karena hasrat Hasan Din untuk mengenal lebih dekat pada Bung Karno yang sangat dikaguminya itu.
Bung Karno ketika di Bengkulu aktif di Persyarikatan Muhammadiyah, bahkan pernah menjabat sebagai Ketua Bagian Pengajaran. Dalam melaksanakan kegiatannya di Muhammadiyah inilah maka persahabatan keluarga Hasan Din dan Bung Karno semakin akrab. Mereka saling berkunjung dan Fatmawati sering diajak ayahnya untuk bersilaturrahmi dengan Bung Karno. Pada masa itu, Bung Karno ditemani isterinya bernama Inggit Garnasih, wanita berasal dari Bandung dan anak angkatnya bernama Ratna Juami.
Dari saling silaturrahmi yang semakin akrab inilah, lama kelamaan Bung Karno tertarik pada Fatmawati. Dari sini Bung Karno ingin memperistri Fatmawati. Namun Fatmawati berkeberatan karena Bung Karno telah beristri Inggit Garnasih. Sedangkan Inggit Garnasih yang telah menikah 18 tahun belum ada tanda-tanda hamil.
Dalam perkembangannya dengan berbagai pertimbangan, Fatmawati menerima lamaran Bung Karno dengan syarat tidak mau dimadu. Maka secara baik-baik, Inggit diceraikan dan diserahkan kepada orang tuanya di Bandung. Akhirnya Fatmawati menikah dengan Bung Karno di Bengkulu tanggal 1 Juni 1943.
Sebagai isteri seorang pejuang, Fatmawati mendampingi Bung Karno yang sedang memperjuangkan kemerdekaan bangsanya. Ketika Proklamasi Kemerdekaan dikumandangkan Bung Karno dan Bung Hatta tanggal 17 Agustus 1945, Fatmawati telah dikaruniai putra pertama yang diberi nama Guntur yang kemudian dikenal dengan Guntur Sukarno Putra. Para petinggi Jepang saat itu menyambut gembira atas kelahiran putra pertama itu. Bahkan Jendral Yamamoto menyebut Guntur dengan nama Osamu.
Saat itu, Fatmawati menyaksikan bendera Merah Putih berkibar pertama kali di bumi pertiwi. Bendera itu dijahit sendiri oleh Fatmawati. Ketika secara resmi Bung Karno diangkat sebagai Presiden RI yang pertama, maka otomatis Fatmawati menjadi Ibu Negara yang harus mendampingi Bung Karno dalam berbagai kegiatan resmi kenegaraan. Seusai pembacaan naskah Proklamasi, situasi Jakarta semakin gawat, sehingga pada tanggal 19 September 1945 Bung Karno berpidato di lapangan Ikada Jakarta yang dihadiri oleh ribuan rakyat.
(Lasa Hs)