Perdebatan tentang mengucapkan selamat hari natal masih menjadi polemik di tengah masyarakat. Polemik yang selalu terjadi di setiap tahunnya ini berkaitan dengan istinbath al-hukmi, sehingga Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah membahasnya di Pengajian Tarjih pada Rabu (22/12/2021) dengan pembicara yakni Assoc. Prof. H. Wawan Gunawan Abdul Wahid, Lc., M.Ag. Beliau menjelaskan bahwa penyebab para ulama memiliki perbedaan pendapat terkait persoalan ini dikarenakan Ijtihad mereka dalam memahami generalitas (keumuman) ayat atau Hadis. Terdapat ulama yang memperbolehkan dalam mengucapkan selamat hari natal karena dasar hukum mengikuti prosesi natal bagi mereka memang boleh. Terdapat pula ulama yang lebih memilih untuk berhati-hati karena ketika mengucapkan selamat natal berarti dia telah memberikan kesaksian palsu.
Beliau juga menjelaskan bahwa para ulama yang mengharamkan pengucapan selamat hari natal karena berdasarkan penafsiran QS. Maryam ayat 23-26. Dalam ayat tersebut, Jibril memerintahkan Maryam yang sedang melahirkan Isa al Masih untuk meraih pangkal pohon kurma itu kearahnya lalu mengambil buahnya yang telah matang untuk dimakan. Kehadiran buah kurma memberikan isyarat bahwa kelahiran Isa al Masih bukan di musim dingin. Dengan demikian tanggal 25 Desember bukan merupakan hari kelahiran Putra Maryam tersebut.
Sementara para ulama yang memperbolehkan mengucapkan selamat hari natal berlandaskan pada QS. Al Mumtahanah ayat 8. Dalam ayat tersebut, Allah tidak melarang untuk berbuat baik kepada orang-orang yang tidak memerangi umat Islam. Karenanya, mengucapkan selamat natal merupakan salah satu bentuk perbuatan baik kepada orang non-muslim, sehingga perbuatan tersebut diperbolehkan.
Dalam Tanya Jawab Agama jilid II, Majelis Tarjih mengeluarkan fatwa dengan menyarankan agar tidak memberikan ucapan selamat hari natal kepada umat Kristen. Sementara dalam Fatwa Tarjih yang terdapat di Suara Muhammadiyah no 5 tahun 2020 disebutkan kebolehan untuk membantu atasan di kantor dalam perayaan natal seperti penyediaan kursi, ornament, dan lain-lain. Karenanya, Wawan menyimpulkan bahwa hukum pengucapan hari natal termasuk aspek muamalah yang harus disesuaikan dengan situasi dan kondisi yang menyertai kita.
“Dalam satu situasi minoritas, ia berada di lingkungan minoritas, bila tidak mengucapkan selamat hari natal akan terjadi sesuatu, maka mengucapkannya bagian dari yang disampaikan (boleh). Tapi dalam satu lingkungan tertentu, misalnya, sering berbagi makanan dengan non muslim dalam rapat RT setempat, dan tidak ada satu keharusan mengucapkan selamat hari natal, karena telah terjalin hubungan yang baik dengan non muslim,” ungkap Prof. H. Wawan Gunawan Abdul Wahid.
Perbedaan Fatwa Tarjih yang terdapat di Tanya Jawab Agama jilid II dan Suara Muhammadiyah no 5 tahun 2020 sebenarnya dapat dilihat dengan al-jam`u wat taufiq atau kompromi. Dalam kondisi minoritas di mana toleransi begitu diperlukan agar terjalin keharmonisan, maka boleh mengucapkan selamat hari natal. Sementara dalam situasi yang tidak menuntut adanya toleransi di lingkungan kita (karena memang telah harmonis), sebaiknya menghindari ucapan selamat hari natal kepada umat Kristiani.
Sumber : Muhammadiyah.or.id