Penulis : Aidilla Qurotianti
Tanggal Publikasi : 12 February 2022
Nyai Siti Walidah merupakan seorang perempuan yang lahir di Kauman Yogyakarta pada tahun 1872. Beliau menikah pada tahun 1889 dengan Muhammad Darwis atau lebih dikenal dengan Kiai Haji Ahmad Dahlan. Ayahnya seorang penghulu Keraton, H. Muhammad Fadlil bin Kiai Penghulu Haji Ibrahim. Sementara itu, ibunya, dikenal dengan sebutan Nyai Mas berasal dari Kampung Kauman dan dibesarkan dilingkungan agamis tradisional. Sejak kecil beliau tidak pernah mendapat pendidikan formal di sekolah umum karena pada masa itu masyarakat Kauman berpendapat bahwa pendidikan formal di sekolah bagi anak perempuan dipandang akan menurunkan kesusilaan. Oleh karena itu, pendidikan yang diterima Siti Walidah diberikan oleh kedua orang tuanya tentang berbagai aspek tentang Islam termasuk bahasa Arab dan Al-Qur’an.
Dalam lembaga ‘Aisyiyah ini Nyai Ahmad Dahlan mencoba memperkenalkan pemikirannya bahwa perempuan mempunyai hak yang sama untuk menuntut ilmu setinggi-tingginya. Nyai Ahmad Dahlan menyadari bahwa dirinya memiliki kewajiban yang sangat besar dalam pendidikan untuk mengentaskan kaumnya dari belenggu kebodohan. Dari pemikiran Nyai Ahmad Dahlan ini beliau menginginkan agar bangsa Indonesia terutama kaum perempuan lebih maju dalam pendidikan sehingga terlepas dari penjajahan. Ini membuktikan bahwa spirit Islam mampu mendorong kemajuan wanita.
Pada sebuah forum kajian “Santri Cendekia Forum” yang diselenggarakan Pusat Tarjih Muhammadiyah mengusung sebuah tema kajian tentang “Pemikiran Modernisasi Islam Nyai Siti Walidah” (1/2). Kajian yang diselenggarakan via Zoom ini mengundang narasumber yaitu Dr. Adib Sofia, S.S., M.Hum yang merupakan Pimpinan Pusat Aisyiyah dan Dewan Redaksi Aisyiyah. Pada kesempatan tersebut beliau menjelaskan tentang lima modernisasi Islam yang dilakukan oleh Nyai Siti Walidah, antara lain:
- Kesetaraan Gender; Kemandirian (Gender Equality; independency)
Nyai Ahmad Dahlan mengatakan bahwa Surga dan neraka bagi perempuan ditentukan oleh dirinya sendiri dan perempuan adalah partner bagi laki-laki dalam hal ibadah dan berjuang.
- Membangun Relasi (Relationship)
Selain memiliki pergaulan yang luas dengan tokoh-tokoh besar,beliau juga merupakan sosok yang pantang rendah diri dan senantiasa selalu memposisikan dirinya sebagai penasihat, sehingga beliau akan senantiasa banyak memberikan nasihat kepada orang-orang.
- Komunikasi massa (Mass Communication)
Beliau senantiasa mendobrak mengenai anggapan negatif tentang perempuan; perempuan sebagai kanca wingking (posisinya berada di belakang perempuan). Selan itu beliau juga bersuara terkait adanya kawin paksa, meninggalkan pemahaman kolot dan berani menghadapi celaan kaum tua. Tekanan terhadap kaum perempuan telah membuka wacana Nyai Ahmad Dahlan dalam memperjuangkan kaum perempuan. Pada puncaknya beliau senantiasa mendirikan pondok asrama bagi kaum perempuan. Pondok asrama tersebut fokus untuk melatih keterampilan berpidato dan pendidikan khusus lainnya bagi perempuan.
- Kepemimpinan-Bimbingan (Leadership)
Tanggal 22 April 1917 M bertepatan dengan tanggal 27 Rajab 1355 H Organisai ‘Aisyiyah diresmikan. Organisasi ini menjadi organisasi yang bergerak dalam bidang pendidikan, kesehatan, kesejahteraan sosial, dan pemberdayaan masyarakat. Di awal berdirinya ‘Aisyiyah, Nyai Siti Walidah tidak langsung menjadi ketua, namun beliau senantiasa berusaha untuk mengawal terlebih dahulu apa saja yang dibutuhkan oleh ‘Aisyiyah. Beliau menjadi pimpinan ‘Aisyiyah setelah 4 tahun Aisyah berdiri, yaitu di tahun 1921-1926 dan 1930. Beliau juga selalu peduli dan mendahulukan muridnya, memajukan muridnya, serta berjuang untuk mengelola Maghribi School (Sopo Tresno, ‘Aisyiyah) dan TK ABA. Melalui perkumpulan Sopo Tresno inilah Nyai Dahlan berusaha menanamkan kesadaran kepada kaum perempuan tentang guna dan tujuan pendidikan.
- Pemberdayaan; Integritas (Empowerment; integrity)
Di akhir hidupnya, menjelang wafat Nyai Siti Walidah senantiasa memberikan pesan/wasiat yaitu dalam ber-Muhammadiyah-‘Aisyiyah yang harus dilakukan adalah perbaikan hidup bangsa Indonesia berdasarkan cita-cita luhur mencapai kemerdekaan. Beliau berpesan “Saya titipkan Muhammadiyah dan ‘Aisyiyah kepadamu sebagaimana almarhum KH. Ahmad Dahlan menitipkannya. Menitipkan berarti melanjutkan perjuangan umat Islam Indonesia ke arah perbaikan hidup bangsa Indonesia yang berdasarkan cita-cita luhur mencapai kemerdekaan”. Oleh karena itu, Muhammadiyah dan ‘Aisyiyah tidak dapat dipisahkan dari perjuangan seluruh rakyat Indonesia untuk mencapai masyarakat yang beradab, adil dan makmur.
Referensi:
Ardiyani, Dian. “Konsep Pendidikan Perempuan Siti Walidah.” Tajdida 15, no. 1 (2017): 12–20.
Farhan, Ahmad. “Lima Pemikiran Modernisasi Islam Siti Walidah.” Suara Muhammadiyah, 2022. https://suaramuhammadiyah.id/2022/02/03/lima-pemikiran-modernisasi-islam-siti-walidah/.