Prof. Dr. H. Ahmad Syafii Maarif atau yang sering di sapa dengan sebutan Buya Syafii telah dipanggil oleh Sang Khaliq pada tanggal 27 Mei 2022. Mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah periode 1998-2005 ini meninggalkan luka bagi bangsa Indonesia, mengingat kontribusi beliau yang luar biasa bagi bangsa.
Sebagai cendikiawan Buya Syafii memiliki karya tak perlu dipertanyakan lagi. Banyak sekali karya yang telah beliau publikasikan di berbagai media massa, jurnal, dan buku. Menurut Buya Syafii Maarif, membaca, berpikir, meneliti, dan menulis adalah aktivitas yang sangat penting, dan sebaiknya ditekuni sepanjang hidup. Ijazah pendidikan itu ibarat SIM yang tidak bermakna apa-apa tanpa ditopang dengan keempat aktivitas ilmiah di atas.
Buya Syafii Maarif juga berpesan bahwa membaca tidak boleh sekadar kuantitatif, tetapi harus juga kualitatif. “Membacalah yang banyak,” tutur Buya Syafii Maarif, “kemudian kembangkan gaya tulisan kita sendiri.” Pesan ini sangat penting. Problem serius seorang penulis adalah malas membaca. Padahal, tulisan penulis yang tidak membaca biasanya kering dan tidak berbagi ilmu, kecuali hanya bermain kata-kata tanpa makna.
Kegiatan membaca bagi sebagian masyarakat terdengar kurang familiar. Mengingat indeks membaca di Indonesia belum terlalu membaik. Walaupun kita sudah dimanjakan oleh teknologi yang berkembang setiap harinya, namun kenyataannya budaya membaca masih perlu ditingkatkan. Bagi beliau membaca ada pondasi utama untuk memiliki wawasan yang luas. Kita bisa belajar tentang sejarah eropa tanpa harus datang kesana. Kita bisa tahu betapa luar biasanya sistem pendidikan di Finlandia dengan membaca.
Menurut Buya, orang yang tidak mau memperbaiki diri dengan membaca dan belajar dari sekitar umpama orang yang mempertinggi tempat jautuhnya sendiri. Sehingga Buya dengan getol berusaha menyebarkan semangat literasi kepada kaum muda, karena tidak mau melihat anak-anak muda di negerinya jatuh ke dalam jurang kehinaan, diksi Buya yang menawan untuk menggambarkan situasi semacam ini adalah jangan sampai kita tersungkur di jurang peradaban.
Kita sebagai calon generasi penerus yang akan menjadi memimpin Indonesia ke depan perlu bertanya pada diri sendiri. Apakah saya sudah membaca? Sudahkah saya membaca sesuatu yang baru? Sudahkah saya mencari tahu hal yang belum saya ketahui? Kalimat-kalimat tersebut dapat jadi alat introspeksi kita agar kita tidak terjebak di goa ketidaktahuan. Terima kasih Buya Syafii telah menjadi inspirasi bagi bangsa Indonesia.