Header Logo
Bahasa Indonesia
Koleksi
Menunggu respon server .....
IJtihad Itu Mencerdaskan Bukan Membinasakan
Penulis : Aidilla Qurotianti Tanggal Publikasi : 03 May 2023

Dalam kehidupan sosial, penggunaan diksi konotatif positif dapat menjadi salah satu kunci dalam mempersatukan umat dan membangun kebersamaan yang lebih baik. Diksi konotatif positif adalah penggunaan kata-kata dengan makna tambahan yang mengandung kesan positif atau merujuk pada makna positif yang lebih luas daripada makna harfiahnya. Sebagai contoh, kata “pemimpin” memiliki konotasi positif sebagai seseorang yang bisa dipercaya dan memimpin dengan baik, meskipun secara harfiah hanya merujuk pada seseorang yang memimpin.

Penggunaan diksi konotatif positif dapat membantu membangun hubungan yang harmonis antara anggota umat. Sebagai contoh, ketika kita berbicara tentang kebaikan atau kualitas baik seseorang, kita dapat menggunakan kata-kata yang memiliki konotasi positif, seperti “baik hati”, “jujur”, atau “bijaksana”. Ketika kita menggunakan kata-kata tersebut, kita tidak hanya menggambarkan kualitas seseorang, tetapi juga mengirimkan pesan positif bahwa kebaikan dan kualitas baik tersebut perlu dipuji dan diapresiasi.

Selain itu, penggunaan diksi konotatif positif juga dapat membantu dalam menciptakan lingkungan yang inklusif dan menerima perbedaan. Sebagai contoh, ketika kita berbicara tentang keberagaman, kita dapat menggunakan kata-kata yang memiliki konotasi positif, seperti “kaya akan keberagaman”, “menghargai perbedaan”, atau “terbuka terhadap keanekaragaman”. Dengan menggunakan kata-kata tersebut, kita tidak hanya menggambarkan keberagaman secara positif, tetapi juga mengirimkan pesan bahwa perbedaan adalah hal yang alami dan perlu dihargai.

Namun, penggunaan diksi konotatif positif harus dilakukan dengan bijak dan tepat sasaran. Sebagai contoh, penggunaan kata-kata dengan konotasi positif yang terlalu umum, seperti “baik” atau “indah”, dapat kehilangan maknanya dan menjadi kurang efektif. Selain itu, penggunaan diksi konotatif positif harus tetap memperhatikan konteks dan situasi yang sedang dihadapi. Sebagai contoh, penggunaan diksi konotatif positif yang tidak tepat pada saat situasi sedang tidak kondusif dapat memperkeruh keadaan umat.

Dalam rangka mempersatukan umat, penggunaan diksi konotatif positif yang tepat dan bijak sangat penting. Dengan memilih kata-kata yang memiliki konotasi positif, kita dapat membangun kebersamaan, inklusivitas, dan penghargaan atas perbedaan. Namun, kita juga harus tetap berhati-hati dan memperhatikan konteks dan situasi yang sedang dihadapi agar penggunaan diksi konotatif positif tidak memperkeruh keadaan umat.

Dalam konteks ini,  saya sedikit mengulas mengenai penggunaan diksi konotatif negatif yang dampaknya justru dapat memperkeruh keadaan umat dan memecah belah persatuan, karena dapat menimbulkan persepsi negatif terhadap objek pembahasan.  Sebagai contoh, saat ini warga Muhammadiyah diuji dengan komentar Prof  Thomas Djamaluddin, sebagai pakar astrononom terkait pendapat beliau mengenai ijtihad Muhammadiyah yang berbeda dengan pemerintah dalam menentukan awal bulan  melalui metode Hisab.  Ketidak sesuaian pemilihan diksi dalam hal ini jelas akan berdampak dengan hadirnya persepsi yang sifatnya emosi dan subyektif.

Quote:

“Ukhuwah Islamiyah kok dikalahkan ego organisasi”.

http://tdjamaluddin.wordpress.com/…/permohonan-maaf…/

Penggunaan diksi konotatif negatif dalam kata “ego organisasi ” justru dapat memperkeruh keadaan umat dan memecah belah persatuan, karena dapat menimbulkan persepsi negatif terhadap Muhammadiyah sebagai organisasi dalam konteks tersebut. Oleh karena itu, dalam upaya untuk mempersatukan umat, penggunaan diksi konotatif positif yang lebih bijak dan tepat seharusnya lebih diutamakan.

Thomas DJamaludin (TJ) bisa saja menggunakan diksi konotatif positif seperti “nilai persatuan” atau “kepentingan umat” saja, tanpa harus  secara sporadis dan tendensius menjustifikasikan bahwa Muhammadiyah sebagai sebuah organisasi yang tidak bisa diatur, tanpa mengetahui sejauhmana ijtihad yang telah diupayakan Muhammadiyah sebagaimana topik pembahasan dalam hal menentukan awal bulan yang berbeda dengan upaya yang saat itu dilakukan oleh Pemerintah.  Hal inilah yang sesungguhnya kita sayangkan, karena keterbatasan akal yang diliputi hasrat sebagai Manusia biasa, kadang kita terlalu pede dalam berpendapat di media sosial, yang mana hal tersebut sangat mudah disulut sebagai komuditi isu bagi sebagian orang dalam memperkeruh keadaan, seperti hadirnya sosok AP dengan cuitanya  ” Perlu saya halalkan gak nih darahnya semua Muhammadiyah? ”  inilah yang kemudian  menelanjangi kita bahwa siapa saja akan sangat dengan mudah tergelincir dalam kubangan keniscayaan tindakan biadab sebagaimana sosok AP yang notabenya seorang peneliti di salah satu instansi pemerintah yang idealnya dapat memberikan pesan dan peran edukatif dalam membangun keberagaman berijtihad.

QS. Al-Israa [17]:36: “Wa laa taqfu maa laysa laka bihi ‘ilmun inna assama’ wa al-arda wa ma baynahuma kana bi-masiwiqaadiran.

Artinya: “Dan janganlah kamu mengikuti sesuatu yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati, semuanya itu akan dimintai pertanggungjawaban.”

Ayat ini menunjukkan pentingnya memiliki pengetahuan yang cukup dalam memahami agama dan tidak mengikuti sesuatu yang tidak diketahui kebenarannya. Hal ini menunjukkan pentingnya berijtihad dalam memperoleh pengetahuan yang benar dan tidak menyesatkan.  Ijtihad merupakan salah satu sumber hukum Islam yang sangat penting dalam menghadapi permasalahan yang baru dan kompleks di era modern. Sebagaimana dijelaskan dalam Al-Quran, Allah SWT menuntut umat Muslim untuk berijtihad dalam menyelesaikan permasalahan yang dihadapi.

Dalam hadis riwayat Imam Bukhari, Nabi Muhammad SAW bersabda, “Sesungguhnya aku adalah manusia biasa, mungkin saja ada di antara kamu yang mempunyai pertikaian dalam sesuatu yang aku sampaikan kepadamu, maka lihatlah dalam Al-Quran dan Sunnah, apa yang sesuai dengan keduanya, maka jadikanlah itu sebagai hujjahmu.”  Dari dua sumber tersebut, dapat menjadi dasar dalam berijtihad yang merupakan tuntutan bagi umat Muslim untuk menyelesaikan permasalahan yang kompleks dan baru dengan menggunakan metode rasional dan ilmiah. Dalam melakukan ijtihad, umat Muslim dapat menggunakan sumber-sumber hukum Islam setelah Al-Quran dan al-Hadits, seperti Ijma dan Qiyas.

Namun, penting untuk diingat bahwa dalam melakukan ijtihad, umat Muslim harus memahami batasan-batasan yang ada dalam Islam, seperti nilai-nilai etika dan moral yang tinggi, serta menjaga kesatuan dan persatuan umat Islam. Oleh karena itu, perlu adanya pemahaman yang tepat dalam mengimplementasikan ijtihad dalam kehidupan sehari-hari agar tidak menimbulkan perpecahan dan keretakan dalam umat Islam.

Oleh : Muhamad Jubaidi, M.A

 

Sumber : muhcor.umy.ac.id 

Information